Rabu, 10 Februari 2016

Kost-an Saya Jauh

Jauh juga yaa. Apa ngga takut terlambat? Pertanyaan itu muncul begitu mengetahui saya tinggal di Bintaro. Perlu diketahui, jarak kos-kosan saya di Bintaro sampai kantor saya di Gatot Subroto itu kurang lebih 20 km. Membutuhkan waktu hampir sejam untuk sampai di tempat kerja dengan sepeda motor. Cukup jauh memang untuk ukuran kos. Kalau masalah takut terlambat, jauh lebih menakutkan ketika sedang lewat jalur busway, sekonyong-konyong terlihat bayangan polisi berdiri kokoh di ujung jalur. Haha. Makanya, jangan nrobos jalur busway ya, nak!.  

Masih teringat kuat dalam ingatan, hal pertama yang terpikirkan waktu menginjakkan kaki di wilayah ibukota ini sekali lagi setelah setahun lebih jiwa dan raga menganggur mengabdi di kampung halaman adalah nyari jodoh kos.Waktu itu kriteria utama kos yang dicari adalah yang paling dekat dengan tempat kerja selain pertimbangan uang sewanya yang murah juga. Bukan tanpa alasan, kos yang dekat dengan kantor pasti memangkas biaya transport dan biaya pemulihan stamina. Oleh karena itu, begitu saya sampai di jakarta, langsung saja raga ini menuju ke tempat saya akan bekerja dan mulai menyisir gang demi gang, rumah demi rumah, bahkan sampai warung demi warung untuk mencari informasi tempat pijat kos yang ideal sambil nyruput es teh buatan mbak-mbak warteg. 

Panas terik ditambah udara yang bercampur asap rokok dan kendaraan bermotor membuat misi mencari kos menjadi berat. Untungnya waktu itu saya tak sendiri, ada tiga teman senasib, sepenanggungan dan se-kampung halaman yang sama-sama mencari kos. Awalnya, mencari kos bareng temen memang terasa lebih menyenangkan. Kalau capek, bisa istirahat bareng sambil makan rumput gorengan warteg. Tapi akhirnya kami sadar. Kesenangan mencari kos bareng itu merupakan kesenangan semu. Nyatanya, dengan empat orang yang sama-sama ingin mencari kos, membuat misi menjadi semakin sulit. Bayangkan, mencari kos di tengah kota dengan empat kamar kosong available, pekerjaan yang hampir mustahil, bukan?. Sebenarnya ini bisa diatasi jika kami tidak menuntut untuk harus satu tempat kos-an. Masalahnya, kita khawatir akan terjadi kecemburuan jika berbeda tempat kos. Lha wong kita nyarinya bareng kok ada yang dapet kos enak ada yang engga. Yowes, karena kita masih menjunjung tinggi tradisi pekewuh (ngga enakan) maka misi mencari kos ini pun menjadi semakin banyak tantangannya. 

Matahari sudah condong ke barat, panas terik sudah agak berkurang, tetapi jodoh kos itu tak kunjung ditemukan. Kami berempat mulai putus asa. Bukan hal mudah memang mencari kos yang nyaman, dekat, murah, dan juga dengan empat kamar kosong di satu tempat kos. Apalagi kami mencari di pusat wilayah para pencari nafkah. Dengan pertimbangan besok sudah harus masuk kerja sehingga hari ini mau tidak mau harus dapat kos, kami pun membuat keputusan. Pulang. Ya, kami memutuskan untuk pulang ke wilayah kami nge-kos dulu di sekitar kampus ali wardhana, Bintaro. Kampung Sarmili tepatnya. Misi mencari kos dekat kantor hari ini pun gagal. Kami pun harus mengorbankan kriteria “dekat” karena dengan nge-kos di Bintaro jarak yang harus ditempuh yaitu sekitar 20 km dan kriteria “bareng” karena ada satu teman yang terpaksa ikhlas untuk berbeda kos dengan saya dan dua temannya. 

Kadang terlintas di kepala untuk memulai kembali misi mencari kos di sekitar kantor. Rasa lelah setiap pulang dari tempat kerja lah yang mendasarinya. Sempat beberapa kali mencari informasi dan meninjau lokasi sendiri. Namun, setelah saya pertimbangkan, kenyamanan merupakan prioritas utama disamping masalah harga. Kenyamanan di sini tidak melulu soal fasilitas kos, rasa nyaman dan aman dengan lingkungan kos juga menjadi poin penting. Selain itu, banyak teman seperjuangan yang kos juga di Bintaro dan sekitarnya membuat rasa lelah, penat dan letih setelah bekerja menjadi hilang lenyap dengan berkumpul dan bermain bersama mereka. Saya pun akhirnya menyadari, bukanlah jarak yang menjadi pertimbangan utama dalam memilih tempat kos. Rasa nyaman dan faktor ekonomi lah yang menjadi kriteria utama saya dalam memilih tempat kos. Hal seperti inilah yang tidak saya temukan di sekitaran gedung-gedung yang menjulang sombong di atas tanah ibukota. 

Smartphone berbunyi. Terlihat notifikasi whatsapp dari grup ketapel bintaro. 
Bray, ntar malem nongkrong di warkop mbak susi. 
siappp” 
“oke” 
“meluncurr” 

Hahaha. Bahagia memang tak harus mahal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar